Monday, January 26, 2015

Al-Aqsa, Darah, dan Doa



Kegusaran ini kerap berulang setiap 21 Agustus: tragedi pembakaran Masjid Al-Aqsa. Seperti juga para penduduk Palestina, Presiden Mahmoud Abbas cemas jika tragedi 43 tahun lalu itu kembali terjadi. Pada peringatan tahun ini, persis tiga hari setelah Idul Fitri 1433 H lalu, Mahmoud mengingatkan kembali bahwa Al-Aqsa, tempat suci ketiga umat Islam itu, selalu terancam di bawah Israel.
“Serangan seorang penjahat fanatik itu dulu terjadi di depan hidung penguasa Israel,” ujar Mahmoud, seperti dilansir Palestinian News Network, 21 Agustus 2012. Peristiwa dulu itu, kata Mahmoud, adalah rangkaian aksi yang terus berlanjut. Tujuan utama Israel, kata Mahmoud, adalah “Merampas tempat suci umat Islam dan Kristen, menghancurkan Al-Aqsa, dan membangun kuil Yahudi yang mereka klaim.”
Trauma itu rupanya masih kental. Pada 43 tahun silam, Michael Dennis Rohan, masuk ke Masjid Al-Aqsa. Dia lalu mengguyur minyak ke mimbar. Api disulut, dan papan berusia 800 tahun di mimbar itu pun hangus. Termasuk gosong mimbar yang dibuat oleh tokoh Islam legendaris masa Perang Salib, Salahuddin al-Ayubi, atau Saladin si penakluk Konstantinopel, yang merebut kembali Yerusalem pada abad ke 12.
Rohan adalah seorang anggota sekte Kristen fundamentalis yang tinggal di kibbutz warga Israel. Alasannya membakar Al-Aqsa, seperti diakuinya di depan pengadilan Israel, adalah untuk memperkuat kebangkitan kembali Isa al Masih (Yesus), dan membantu Yahudi membangun kembali kuil di tempat masjid itu. Dia diduga sakit jiwa.
Pembakaran Al-Aqsa memantik reaksi serius dari dunia Islam waktu itu. Raja Arab Saudi, Faisal I, menggelar pertemuan negara Islam di Rabat, yang kemudian menjadi cikal bakal Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 1972.
Al-Aqsa, dan juga tanah Yerusalem tempatnya berdiri, adalah saksi sejarah dari tiga agama penerus Nabi Ibrahim: Yahudi, Kristen dan Islam. Mahmoud patut gusar, mengingat kota itu menjadi inti identitas warga Palestina, dan dianggap ibukota abadi dari negara Palestina. “Tak ada perdamaian, dan keamanan, kecuali rezim pendudukan Israel hengkang dari Yerusalem,” ujar Mahmoud.
Kaum Yahudi percaya di Yerusalem lah pernah berdiri bangunan suci, Bait (rumah) Tuhan pertama (Kuil Sulaiman), dan Bait Tuhan kedua. Tapi kedua bangunan suci itu hancur akibat perang. Bait Tuhan pertama itu rusak diserang tentara Babilonia pada 100 SM. Yang tersisa hanya tembok barat, kini kerap disebut Tembok Ratapan. Meski Bait Tuhan musnah, bangsa Yahudi percaya kesuciannya masih tertinggal. Mereka pun terus berupaya membangun kembali Bait Tuhan ketiga di Yerusalem.
Bagi Kristen, Yerusalem adalah juga kota penting. Dia adalah tempat Yesus sang Penyelamat lahir.  Di Yerusalem pula sang Nabi itu hidup, dan wafat saat disalib. Kitab suci Kristen menyebutkan sang al-Masih itu akan bangkit di Yerusalem.
Sementara bagi Islam, Masjid Al-Aqsa di Yerusalem adalah tempat suci ketiga setelah Mekkah, dan Madinah. Dia disebut juga Baitul Maqdis, dan menjadi kiblat pertama umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW (570 M-632 M) melakukan perjalanan Isra Mi’raj, dan menerima perintah salat dari Allah. Selama 17 bulan, kaum muslim salat menghadapkan wajah mereka ke Al-Aqsa, Yerusalem, sebelum turun wahyu menjadikan Ka’bah di Mekkah sebagai kiblat baru.
Menjadi poros penting bagi tiga agama pewaris Nabi Ibrahim itu, kisah Al-Aqsa pun tak lepas dari sengketa ribuan tahun di tanah Yerusalem.
Dari dinasti ke dinasti
Masjid Al-Aqsa dibangun pada masa awal Dinasti Umayyah berkuasa di Palestina. Begitu kira-kira menurut sejarawan arsitek KAC Creswell. Dia mengutip kesaksian seorang pendeta Galia, Arculf, yang berziarah ke Palestina pada 679-682 M. Arculf sebetulnya melawat ke tanah itu saat Muawiyah I berkuasa. Seperti disebut oleh sarjana Islam di masa itu, al Mutahhar bin Tahir, kemungkinan Muawiyah lah yang memerintahkan pembangunan itu, dan bukan Umar.
Konstruksi awal al-Aqsa adalah bangunan segi empat sederhana. Tempat itu awalnya dapat memuat 3.000 jamaah, dan bangunannya meliputi Bukit Kuil atau disebut juga Al Haram al-Syarif. Menurut sejumlah sarjana Islam di masa itu, seperti Mujir ad-Din, al-Suyuti, dan al-Muqaddasi, masjid itu dibangun kembali oleh khalifah Abdul Malik pada 690 M.
Rencana Abdul Malik sangat sederhana. Simon S Montefiore, sejarawan Inggris penulis buku “Jerusalem: The Biography (2011)”, mencatatnya begini: “Sebuah kubah berdiameter 65 kaki ditopang sebuah drum, semua bertumpu pada dinding bersegi delapan. Keindahan, dan kesederhanaan kubah itu sepadan dengan misterinya”.
Menurut Simon, bahkan itu sebetulnya bukan sebuah masjid, tapi sebuah tempat suci.  “Bentuk oktagonalnya mirip wisma martir Kristen, bahkan kubahnya mengingatkan orang pada Kuburan Suci dan Hagia Sophia di Konstantinopel, namun jalan melingkarnya dirancang untuk thawaf, mengingatkan orang pada Ka’bah di Mekkah,” demikian tulis Simon.
Al-Aqsa lalu diselesaikan pembangunannya oleh penerus Abdul Malik, Khalifah al Walid I.  Pada 713-14 M, Yerusalem diguncang gempa. Bagian timur Masjid Al-Aqsa rusak, dan dibangun kembali pada masa al-Walid. Dinasti Umayyah membangun masjid itu sehingga berukuran 112 kali 39 meter.
Pada 746, Al-Aqsa kembali rusak oleh gempa, empat tahun sebelum as-Saffah menggulingkan Umayyah, dan membangun dinasti Abassiyah. Khalifah kedua dari dinasti baru itu,  Abu Jaffar al-Mansur, berniat memperbaiki Al-Aqsa pada 753 M, dan dia menyelesaikannya pada 771. Tapi tiga tahun kemudian, gempa kedua merontokkan seluruh perbaikan al-Mansur. Bagian selatan masjid itu lalu rampung digarap al-Mansur pada 774.
Dua abad kemudian, gempa kembali melanda Al-Aqsa, dan masjid itu rusak berat. Kalifah dari dinasti Fatimiyah, Ali az-Zahir membangun kembali masjid itu antara 1034 dan 1036. Az-Zahir membangun empat arkade di bangunan tengah dan lorong, yang kini menjadi bangunan dasar masjid itu. Lorong tengah dibuat lebih jembar dari dua lorong lainnya, tempat kubah dari kayu dibangun.
Darah dan doa
Menyandang status kota suci bagi Yahudi, Kristen dan Islam,  Yerusalem tak berhenti diterpa konflik. Dia adalah kota, tempat agama-agama merapal doa, sekaligus menumpahkan darah.
Yang paling kelam bagi Yerusalem adalah Perang Salib pada 1099. Perang itu meledak ketika Paus Urbanus II berseru agar mempertahankan Kekaisaran Byzantium, dan merebut Yerusalem yang kala itu dikuasai oleh Dinasti Seljuk. Dinasti itu menguasai Yerusalem setelah merebutnya dari dinasti Fatimiyah yang berpusat di Mesir pada 1078. Umat Kristen menganggap tak lagi bebas beribadah sejak Dinasti Seljuk menguasai Baitul Maqdis. Yerusalem jatuh ke Tentara Salib pada 1099.
Kekejaman Perang Salib diungkapkan Raymond d’Aguiliers, Imam dari Raymond de Saint-Gilles. Seorang pangeran Tolouse bersaksi, usai penaklukan itu, mayat bertumpuk di jalan-jalan kota Yerusalem. Warga Yahudi dan Islam dibantai. Kerap digambarkan, mungkin agak berlebihan, bahwa “bau mayat masih tercium hingga enam bulan setelah kota itu direbut”.  Kota itu lalu menjadi milik Kristen. Sementara Yahudi dan Muslim terdesak ke pinggir, dan dilarang memasuki kota.
Pada 1187, situasi berubah. Salahudin Al Ayyubi merebut dan menguasai Yerusalem. Di bawah Salahudin, hubungan Muslim, Yahudi dan Kristen berjalan baik. Yahudi dan Kristen boleh memasuki kota, dan menjalankan ibadah. Upaya menaklukan kota itu terus terjadi sampai 1243 oleh Tentara Salib. Sejak saat itu, Yerusalem menjadi pusat perebutan tiga agama.
Konflik mereda saat Dinasti Utsmaniyah (Ottoman) berkuasa pada 1517, dan berakhir pada 1917.
Palestina versus Israel
Pada 1917, diikuti kekalahan Turki Utsmaniyah pada Perang Dunia I, Yerusalem diduduki Inggris di bawah komando Jenderal Edmund Allenby. Saat itu, Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour memberikan isyarat kepada seorang Yahudi kaya, Lord Rothschild, bahwa Inggris mendukung terbentuknya pemukiman bagi kaum Yahudi yang terdesak di Eropa untuk menetap di Palestina.
Pada 1949, Yahudi membentuk negara Israel, dan menguasai bagian barat Yerusalem. Pada 1967 Israel mencaplok bagian timur, termasuk “Kota Lama”. Aksi Israel ini menyulut peperangan dahsyat, yang dikenal “Perang Enam Hari” antara Israel melawan tiga negara Arab, Mesir, Yordania dan Suriah. Tapi Israel menang.
Lalu, soal siapa yang berhak atas Masjid Al-Aqsa pun menjadi sengketa, dan juga isu peka dalam konflik Israel-Palestina. Israel mengklaim berkuasa atas masjid itu, dan seluruh Bukit Bait Suci atau Al Haram Al Syarif. Begitu pula Palestina, yang terus menuntut kepemilikan penuh masjid ini serta situs suci Islam lainnya di Yerusalem Timur. Bentrokan berdarah, dan kerusuhan, dari kedua kubu terus bergolak sampai hari ini.
Pada 1990, misalnya polisi Israel bentrok dengan para demonstran Palestina. Sekitar 22 warga Palestina tewas. Bentrok dipicu pernyataan kelompok Yahudi Ortodoks, Gerakan Setia Bait Suci, yang menyatakan akan meletakkan batu pertama untuk pembangunan Bait Suci Ketiga.
Pada akhir September 2000, lagi-lagi bentrok berdarah terjadi yang dipicu dengan kunjungan pemimpin Israel Ariel Sharon beserta seribu petugas bersenjata ke kompleks Al-Aqsa. Rakyat Palestina murka dan demonstrasi meletus. Selama lima tahun, Palestina melancarkan perlawanan yang dikenal sebagai Intifadah Al-Aqsa.
Mengapa perdamaian seperti muskil di tanah Yerusalem? Peneliti Timur Tengah LIPI, Hamdan Basyar, mengatakan soal status Yerusalem sepertinya bisa dikompromikan. “Wilayah Kota Tua (Yerusalem Timur) menjadi teritorial internasional,” ujar Hamdan. Yang sulit, soal status Al-Aqsa. Umat Islam ingin Masjid Al Aqsa seharusnya diserahkan kepada mereka. “Soalnya, sudah diakui dunia sebagai peninggalan Islam”.
Tapi inilah soalnya. Israel, dengan segala catatan sejarah tua bangsa Yahudi, berambisi membuktikan bahwa Al-Aqsa adalah milik mereka. Untuk membuktikan di sana tempat berdirinya Bait Tuhan pertama dan kedua, Israel melakukan penggalian di sejumlah sisi Masjid Al Aqsa sejak 1970. “Aksi inilah yang tidak diterima oleh kaum Muslim,” ujarnya.
Jika terbukti benar, Bait Tuhan yang ketiga akan berdiri dengan merobohkan Masjid Al Aqsa. Kalau itu terjadi, tentu itu menjadi perkara yang sangat serius: melenyapkan situs terbesar peninggalan Islam. “Inilah yang membuat konflik terjadi terus menerus,” kata Hamdan. (np)

No comments :

Post a Comment