Suatu hal yang lumrah apabila kita melihat seseorang berkorban demi
apa yang dicintainya, demikian juga Bung Karno. Demi Indonesia Bung
Karno mengabaikan penyakit yang menggerogoti dirinya. Bung Karno selalu
tampil prima dihadapan publik, walau pada hakekatnya dia dalam keadaan
lemah. Hal tersebut dilakukan demi menjaga rasa percaya diri seluruh
rakyat Indonesia.
Berulang-kali dokter pribadinya memberi nasihat kepada Bung Karno. Ini terkait dengan sakit ginjalnya, yakin makin para di akhir tahun 60-an. “Kalau Bapak bisa tenang sedikit, dan tidak berteriak-teriak, niscaya Bapak tidak akan mendapat ulcers.” Yang dimaksud dokter adalah peradangan pada lambung akibat sakit ginjalnya itu. Baru saja dokter berhenti memberikan nasihatnya, Bung Karno meradang dan berteriak, “Bagaimana
aku bisa tenang kalau setiap lima menit menerima kabar
buruk?”Berulang-kali dokter pribadinya memberi nasihat kepada Bung Karno. Ini terkait dengan sakit ginjalnya, yakin makin para di akhir tahun 60-an. “Kalau Bapak bisa tenang sedikit, dan tidak berteriak-teriak, niscaya Bapak tidak akan mendapat ulcers.” Yang dimaksud dokter adalah peradangan pada lambung akibat sakit ginjalnya itu. Baru saja dokter berhenti memberikan nasihatnya, Bung Karno meradang dan berteriak, “Bagaimana
Berteriak adalah “hobi” Sukarno. Ia berteriak untuk memberi semangat
rakyatnya. Ia berteriak juga untuk mengganyang musuh-musuh negara. Jika
konteksnya adalah membakar semangat rakyat, maka Bung Karno adalah
seorang orator ulung. Bahkan paling unggul pada zamannya. Sebaliknya,
jika ia berteriak karena terinjak dan teraniaya harga dirinya sebagai
presiden dan kepala negara, maka Sukarno adalah presiden paling berani
yang pernah hidup di atas bumi ini.
“Inggris kita linggis! Amerika kita setrika!”, atau “Go to hell with your aid” yang ditujukan kepada Amerika.
“Inggris kita linggis! Amerika kita setrika!”, atau “Go to hell with your aid” yang ditujukan kepada Amerika.
“Malaysia kita ganyang. Hajar cecunguk Malayan itu! Pukul dan sikat
jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat
itu”, yang ini saat Indonesia berkonfrontasi dengan di negara boneka
bernama Malaysia.
Bukan hanya itu. Organisasi dunia yang bernama Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pun pernah dilawan. Tanggal 20 Januari 1965, Bung Karno menarik Indonesia dari keanggotaan PBB. Ini karena ketidak-becusan PBB dalam menangani persoalan anggota-anggotanya, termasuk dalam kaitan konflik Indonesia – Malaysia. Ada enam alasan yang tak bisa dibantah siapa pun, termasuk Sekjen PBB sendiri, yang menjadi dasar Indonesia menarik diri dari keanggotaan PBB.
Bukan hanya itu. Organisasi dunia yang bernama Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pun pernah dilawan. Tanggal 20 Januari 1965, Bung Karno menarik Indonesia dari keanggotaan PBB. Ini karena ketidak-becusan PBB dalam menangani persoalan anggota-anggotanya, termasuk dalam kaitan konflik Indonesia – Malaysia. Ada enam alasan yang tak bisa dibantah siapa pun, termasuk Sekjen PBB sendiri, yang menjadi dasar Indonesia menarik diri dari keanggotaan PBB.
Pertama, soal kedudukan PBB di Amerika Serikat. Bung
Karno mengkritik, dalam suasana perang dingin Amerika Serikat dan Uni
Sovyet lengkap dengan perang urat syaraf yang terjadi, maka tidak
sepatutnya markas PBB justru berada di salah satu negara pelaku perang
dingin tersebut. Bung Karno mengusulkan agar PBB bermarkas di Jenewa,
atau di Asia, Afrika, atau daerah netral lain di luar blok Amerika dan
Sovyet.
Kedua, PBB yang lahir pasca perang dunia kedua,
dimaksudkan untuk bisa menyelesaikan pertikaian antarnegara secara cepat
dan menentukan. Akan tetapi yang terjadi justru PBB selalu tegang dan
lamban dalam menyikapi konflik antar negara. Indonesia mengalami dua
kali, yakni saat pembebasan Irian Barat, dan Malaysia. Dalam kedua
perkara itu, PBB tidak membawa penyelesaian, kecuali hanya menjadi medan
perdebatan. Selain itu, pasca perang dunia II, banyak negara baru, yang
baru saja terbebas dari penderitaan penjajahan, tetapi faktanya dalam
piagam-piagam yang dilahirkan maupun dalam preambule-nya, tidak pernah
menyebut perkataan kolonialisme. Singkatnya, PBB tidak menempatkan
negara-negara yang baru merdeka secara proporsional.
Ketiga, Organisasi dan keanggotaan Dewan Keamanan
mencerminkan peta ekonomi, militer dan kekuatan tahun 1945, tidak
mencerminkan bangkitnya negara-negara sosialis serta munculnya
perkembangan cepat kemerdekaan negara-negara di Asia dan Afrika. Mereka
tidak diakomodir karena hak veto hanya milik Amerika, Inggris, Rusia,
Perancis, dan Taiwan. Kondisi yang tidak aktual lagi, tetapi tidak ada
satu orang pun yang berusaha bergerak mengubahnya.
Keempat, soal sekretariat yang selalu dipegang
kepala staf berkebangsaan Amerika. Tidak heran jika hasil kebijakannya
banyak mengakomodasi kepentingan Barat, setidaknya menggunakan sistem
Barat. Bung Karno tidak dapat menunjung tinggi sistem itu dengan dasar,
“Imperialisme dan kolonialisme adalah anak kandung dari sistem Negara
Barat. Seperti halnya mayoritas anggota PBB, aku benci imperialisme dan
aku jijik pada kolonialisme.”
Kelima, Bung Karno menganggap PBB keblinger dengan
menolak perwakilan Cina, sementara di Dewan Keamanan duduk Taiwan yang
tidak diakui oleh Indonesia. Di mata Bung Karno, “Dengan mengesampingkan
bangsa yang besar, bangsa yang agung dan kuat dalam arti jumlah
penduduk, kebudayaan, kemampuan, peninggalan kebudayaan kuno, suatu
bangsa yang penuh kekuatan dan daya-ekonomi, dengan mengesampingkan
bangsa itu, maka PBB sangat melemahkan kekuatan dan kemampuannya untuk
berunding justru karena ia menolak keanggotaan bangsa yang terbesar di
dunia.”
Keenam, tidak adanya pembagian yang adil di antara
personal PBB dalam lembaga-lembaganya. Bekas ketua UNICEF adalah seorang
Amerika. Ketua Dana Khusus adalah Amerika. Badan Bantuan Teknik PBB
diketuai orang Inggris. Bahkan dalam persengketaan Asia seperti halnya
pembentukan Malaysia, maka plebisit yang gagal yang diselenggarakan PBB,
diketuai orang Amerika bernama Michelmore.
Bagi sebagian kepala negara, sikap keluar dari PBB dianggap sikap nekad. Bung Karno tidak hanya kelua dari PBB. Lebih dari itu, ia membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces/ Conefo) sebagai alternatif persatuan bangsa-bangsa selain PBB. Konferensi ini sedianya digelar akhir tahun 1966. Langkah tegas dan berani Sukarno langsung mendapat dukungan banyak negara, khususnya di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Bahkan sebagian Eropa juga mendukung.
Sebagai tandingan Olimpiade, Bung Karno bahkan menyelenggarakan Ganefo (Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10 – 22 November 1963. Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.:iloveindonesia
Bung Karno dengan Conefo dan Ganefo, sudah menunjukkan kepada dunia, bahwa organisasi bangsa-bangsa tidak mesti harus satu, dan hanya PBB. Bung Karno sudah mengeluarkan terobosan itu. Sayang, konspirasi internasional (Barat) yang didukung segelintir pengkhianat dalam negeri (seperti Angkatan ’66, sejumlah perwira TNI-AD, serta segelintir cendekiawan pro Barat, dan beberapa orang keblinger), berhasil merekayasa tumbangnya Bung Karno. Wallahu a’lam.
Bagi sebagian kepala negara, sikap keluar dari PBB dianggap sikap nekad. Bung Karno tidak hanya kelua dari PBB. Lebih dari itu, ia membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces/ Conefo) sebagai alternatif persatuan bangsa-bangsa selain PBB. Konferensi ini sedianya digelar akhir tahun 1966. Langkah tegas dan berani Sukarno langsung mendapat dukungan banyak negara, khususnya di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Bahkan sebagian Eropa juga mendukung.
Sebagai tandingan Olimpiade, Bung Karno bahkan menyelenggarakan Ganefo (Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10 – 22 November 1963. Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.:iloveindonesia
Bung Karno dengan Conefo dan Ganefo, sudah menunjukkan kepada dunia, bahwa organisasi bangsa-bangsa tidak mesti harus satu, dan hanya PBB. Bung Karno sudah mengeluarkan terobosan itu. Sayang, konspirasi internasional (Barat) yang didukung segelintir pengkhianat dalam negeri (seperti Angkatan ’66, sejumlah perwira TNI-AD, serta segelintir cendekiawan pro Barat, dan beberapa orang keblinger), berhasil merekayasa tumbangnya Bung Karno. Wallahu a’lam.
No comments :
Post a Comment