Ada dua orang utusan (caraka)
Mereka bertengkar (sawala)
Mereka sama-sama sakti (joyo)
Mereka pun berakhir menjadi mayat (bathang)
Kisah itulah yang dijadikan Aksara/huruf-huruf JAWA, atau Aksara Jawa yang dibuat menjadi kisah itu, saya gak tahu. Yang jelas orang Jawa memang pintar berfalsafah ... hehehe
Aksara Jawa ini mewakili spiritualitas orang Jawa yang terdalam: yaitu kerinduannya akan harmoni dan ketakutannya akan segala sesuatu yang dapat memecah-belah harmoni.
Konon aksara Jawa ini diciptakan oleh Ajisaka untuk mengenang kedua abdinya yang setia.Dikisahkan Ajisaka hendak pergi mengembara, dan ia berpesan pada seorang abdinya yang setia agar menjaga keris pusakanya dan mewanti-wanti: janganlah memberikan keris itu pada orang lain, kecuali dirinya sendiri: Ajisaka.
Setelah sekian lama mengembara, di negeri perantauan, Ajisaka teringat akan pusaka yang ia tinggalkan di tanah kelahirannya. Maka ia pun mengutus seorang abdinya yang lain, yang juga setia, agar dia pulang dan mengambil keris pusaka itu di tanah leluhur. Kepada abdi yang setia ini dia mewanti-wanti: jangan sekali-kali kembali ke hadapannya kecuali membawa keris pusakanya.
Ironisnya, kedua abdi yang sama-sama setia dan militan itu, akhirnya harus berkelahi dan tewas bersama: hanya karena tidak ada dialog di antara mereka padahal sebenarnya keduanya mengemban misi yang sama: yaitu memegang teguh amanat junjungannya
No comments :
Post a Comment