Al-Ghazali
Lalu perhatikan, sesudah itu, bagaimana Anda tidak mengakui adanya cinta kepada Sang Maha Pencipta? Jika mata batin Anda tidak mampu menangkap dan mencermati secara seksama terhadap kemuliaan dan kesempurnaan Sang Maha Pencipta dan tidak mampu mencintai-Nya dengan kecintaan yang amat sangat, maka Anda jangan sampai tidak mencintai pemberi nikmat dan yang berbuat baik kepada Anda!
Allah Swt. berfirman,
“Allah mencintainya dan mereka pun mencintai-Nya.” (Q.s. Al-Maidah: 54).
Dan firman-Nya pula:
“Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad dijalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” (Q.s. At-Taubah: 24).
Rasulullah Saw. bersabda:
“Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari yang selainnya.” (H.r. Bukhari-Muslim).
Beliau juga bersabda,
“Cintailah Allah, karena Dia mengaruniakan nikmat kepada kalian, dan cintailah aku, karena cinta kepada Allah Azza wa Jalla!” (Al-Hadis).
Abu Bakar As-Shiddiq r.a. berkata, “Barangsiapa merasakan kemurnian cinta kepada Allah, hal itu mencegahnya untuk mencari kehidupan duniawi dan menjadikan dirinya meninggalkan seluruh manusia.”
Hasan Al-Bashri berkata, “Orang yang kenal Allah, pasti Allah mencintainya. Orang yang kenal dunia, ia pasti hidup zuhud di dalamnya. Seorang Mukmin tidak terkecoh kecuali dia lalai, bila bertafakur ia sedih dan pilu.”
Sebagian besar ahli kalam (mutakallimun) tidak mengakui adanya cinta kepada Allah. Mereka menginterpretasikannya dengan berkata, “Cinta Allah itu tidak ada artinya, kecuali dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya. Sebab, tiada sesuatu yang menyerupai-Nya dan Dia tidak menyerupai sesuatu, dan Dia itu tidak sepadan dengan naluri dan watak kita, bagaimana mungkin kita mencintai-Nya?Yang mungkin bagi kita adalah mencintai siapa yang sejenis dengan kita, yakni sesama manusia.”
Mereka terbelenggu oleh ketidaktahuan mereka atas esensi banyak hal. Persoalan ini telah kami singkap dalam Bab “AI-Mahabbah” pada kitab Al-Ihya’, silakan Anda merujuknya. Di sini kami batasi dengan ringkasan dan intisarinya saja.
Setiap yang lezat, enak, itu digandrungi, disenangi dan dicintai. Maksud dari kata “dicintai atau disenangi” adalah, jiwa cenderung kepadanya atau digandrungi oleh jiwa. Kecenderungan yang amat kuat disebut keasyikan cinta.
Maksud dan kata “dibenci” adalah, jiwa berpaling darinya, tidak menyenanginya, karena menjemukan dan menyakitkan. Rasa benci atau keberpalingan yang amat sangat, disebut dendam.
Segala sesuatu yang Anda rasakan dengan segenap indera dan perasaan bisa selaras dengan perasaan Anda, dan itu adalah sesuatu yang menyenangkan. Sebaliknya, yang bertentangan dengan indera, selera dan perasaan Anda, itu adalah sesuatu yang menyakitkan. Atau tidak sesuai, ataupun tidak bertentangan dengan indera, atau selera Anda, itu adalah sesuatu yang tidak menyenangkan dan tidak pula menyakitkan. Setiap yang menyenangkan pasti disukai, artinya, jiwa yang terasang olehnya pasti cenderung dan menggandrunginya. Dan itu tidaklah mustahil.
Senang atau enak itu mengikuti indera, sedangkan indera itu terdiri dari dua macam: Indera lahir dan batin.
Indera lahir adalah pancaindera. Sudah barangtentu kelezatan mata itu adalah ketika melihat keindahan-keindahan, kelezatan yang dirasakan oleh telinga ketika mendengarkan alunan melodi yang indah, sedangkan kelezatan rasa dan penciuman adalah ketika merasakan makanan dan bau yang cocok. Sementara, kelezatan yang dirasakan oleh organ-organ tubuh lainnya, ketika mengenakan sesuatu yang halus lagi menyenangkan. Semua itu disenangi jiwa, atau jiwa itu gandrung kepadanya.
Indera batin adalah kehalusan (lathifah) yang terdapat di dalam kalbu; kadang-kadang disebut akal-budi, kadang-kadang disebut cahaya, dan terkadang pula disebut indera keenam.
Anda tidak perlu menilik dari kata-kata tersebut, sebab Anda akan mendapatkan kesulitan, tapi perhatikanlah sabda Rasulullah Saw. berikut ini:
“Ada tiga perkara duniawi kalian yang disenangkan kepadaku (aku menyenanginya), yaitu: wewangian, wanita, dan hal yang paling menyenangkan bagiku, ketika salat.”
Anda tahu, bahwa pada wewangian dan wanita terdapat unsur untuk disentuh, dicium dan dipandang. Sedangkan apa yang terdapat dalam salat tidak dapat dirasakan atau diindera oleh pancaindera, tapi hanya dapat dirasakan atau diindera oleh indera keenam yang terdapat dalam kalbu. Apa yang dirasakan dalam salat tidak dapat diindera oleh orang yang tidak memiliki kalbu, sebab Allah Swt. itu tertutup antara seseorang dan kalbunya.
Orang yang merasakan kelezatan hanya terbatas dengan pancainderanya, dia itu adalah binatang, sebab binatang itu merasakan hanya dengan pancaindera semata, sementara keistimewaan manusia dan binatang adalah dibedakan dengan mata batin (al-bashiratul hatinah).
Kelezatan yang dirasakan oleh indera lahir terjadi pada bentuk keindahan lahiriah, sedangkan kelezatan yang dirasakan oleh indera batin (ruhani) terjadi pada bentuk keindahan ruhani (batin).
Keindahan Batin
Barangkali Anda bertanya, “Apa yang dimaksud dengan bentuk keindahan ruhani?”
Jawabnya adalah persepsi saya tentang diri Anda. Yakni, bahwa dalam diri Anda tidak merasakan rasa cinta kepada para Nabi, kepada para ulama dan para sahabat. Anda pun tidak dapat membedakan antara raja yang adil, cerdik, berani, perkasa, mulia dan menyayangi rakyatnya, dengan raja yang zalim, bodoh, kikir dan keras.
Menurut persepsi saya, jika diceritakan kepada Anda tentang kejujuran Abu Bakar, kelihaian politik Umar, kedermawanan Utsman dan tentang keberanian Ali — semoga Allah meridhai mereka — niscaya Anda sendiri tidak akan mendapatkan rasa simpati, senang dan cinta kepada para Nabi, orang yang jujur, dan orang alim yang penuh dengan sifat-sifat mulia. Bagaimana mungkin Anda mengingkari hal ini?
Padahal di antara manusia ada yang mengikuti jejak pemimpin-pemimpin mazhabnya. Cinta mereka terhadap para pemimpinnya itu mendorong pengorbanan jiwa dan harta demi membela mereka (para pemimpin), dan rasa cinta mereka itu melampaui batas kecintaan yang amat sangat.
Anda sendiri tahu, bahwa kecintaan Anda kepada mereka bukan karena bentuk lahir mereka, bukan karena mereka rupawan, sebab Anda sendiri belum pernah melihat paras muka mereka. Walaupun Anda pernah melihatnya, tapi Anda barangkaIi tidak menganggapnya rupawan. Sungguhpun Anda menganggap baik, rupawan, padahal bentuk lahir mereka – sebagaimana Anda saksikan, jelek, misalnya — namun sifat-sifat luhur masih tetap ada, maka kecintaan kepada mereka pun tetap ada.
Ada tiga sifat penting yang akan Anda dapatkan setelah mengamati secara cermat terhadap orang yang Anda cinta setelah dirinci panjang-lebar, yang tidak mungkin termuat dalam buku ini — 1. Ilmu, 2. Kemampuan (kekuatan) dan 3. Bersih dan cela.
Tentang ilmu, maksudnya adalah ilmu mereka tentang Allah Swt, para malaikat, kitab-kitab dan para Rasul Allah, keajaiban-keajaiban alam semesta dan rahasia ajaran para Nabi-Nya.
Yang dimaksudkan dengan kemampuan adalah, kemampuan mereka menaklukkan hawa nafsu dan menggiringnya kejalan lurus, serta kemampuan melaksanakan ibadat dengan siasat dan strategi mereka sendiri, serta petunjuk pada kebenaran.
Tentang kebersihan dan cela adalah, seperti terbebasnya ruhani mereka dari kebodohan, sifat kikir, dengki dan akhlak-akhlak yang tercela. Juga integrasi ilmu yang sempurna dan kemampuan menaklukkan hawa nafsu dengan akhlak mulia pada diri mereka. Itu merupakan bentuk ruhani yang baik, suatu bentuk ruhani yang tidak dicapai atau dimiliki oleh binatang dan tidak dimiliki oleh orang yang serupa dengan binatang, yang hanya terbatas pada indera lahiriah.
Selanjutnya, jika Anda mencintai mereka karena sifat-sifat yang terpuji semacam ini, padahal Anda tahu bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah figur yang jauh lebih lengkap dari sifat-sifat yang mereka miliki, maka cinta Anda kepada beliau jauh lebih penting.
Berikutnya, silakan Anda alihkan perhatian kepada Dzat yang mengutus Nabi Muhammad Saw, Penciptanya dan Yang memberikan keistimewaan kepada beliau atas manusia dengan mengutusnya sebagai Rasul — tentu Anda akan tahu, bahwa diutusnya para Nabi oleh Allah, merupakan salah satu bentuk kebaikan dan ragam kebaikan-Nya. Kemudian, menisbatkan kemampuan, ilmu dan kesucian mereka pada Ilmu, Kekuasan dan Kemahasucian Allah, niscaya Anda akan tahu, bahwa tiada Yang Maha Suci selain Tuhan Yang Maha Esa, dan bahwa selain Dia tidak lepas dari cacat dan kekurangan, bahkan kehambaan (manusia kepada Allah Swt.) merupakan bentuk kekurangan terbesar yang dimiliki manusia dari ragam bentuk kekurangan lainnya. Kesempurnaan macam apa bagi orang yang tidak mampu tegak dengan sendirinya, tidak mampu menguasai dirinya, baik itu berupa mati dan hidupnya, rezeki dan ajalnya?
Ilmu macam apa yang dimiliki oleh orang yang kesulitan untuk mengetahui karakteristik batinnya, baik berupa wujud kesehatan ruhani dan sakitnya ruhani, bahkan dia tidak mengetahui seluruh organ ruhani berikut rincian dan ketentuan-ketentuan perwujudannya, ditambah lagi tentang alam semesta?
Silakan hal ini Anda bandingkan dan nisbatkan kepada ilmu azali yang meliputi seluruh yang ada, dari data-data yang tanpa batas jumlahnya sampai pada yang seberat atom yang terdapat di langit dan di muka bumi.
Bandingkan dan nisbatkan pula pada kekuasaan Sang Pencipta langit dan bumi, dimana tidak satu pun dari yang ada keluar dari genggaman kekuasaan-Nya, baik itu dalam hal wujud, eksistensi dan ketiadaannya.
Nisbatkan dan bandingkan pula kesucian makhluk dari aneka cacat dengan kequdusan-Nya, niscaya Anda tahu bahwa kesucian, kekuasaan dan ilmu hanyalah milik Tuhan Yang Maha Esa; kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki oleh selain Allah sekadar pemberianNya belaka.
“Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah, melainkan apa yang dikehendaki-Nya.” (Q.s. Al-Baqarah: 255).
“Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan, melainkan sedikit.” (Q.s. Al-Isra’: 85).
Sekarang, mungkinkah Anda mengingkari bahwa sifat-sifat yang agung dan terpuji itu disenangi atau dicintai? Atau Anda tidak mengakui, bahwa yang memiliki sifat kemuliaan sempurna itu adalah Allah Swt.?
“Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan, melainkan sedikit.” (Q.s. Al-Isra’: 85).
Sekarang, mungkinkah Anda mengingkari bahwa sifat-sifat yang agung dan terpuji itu disenangi atau dicintai? Atau Anda tidak mengakui, bahwa yang memiliki sifat kemuliaan sempurna itu adalah Allah Swt.?
Renungan Cinta
Lalu perhatikan, sesudah itu, bagaimana Anda tidak mengakui adanya cinta kepada Sang Maha Pencipta?
Jika mata batin Anda tidak mampu menangkap dan mencermati secara seksama terhadap kemuliaan dan kesempurnaan Sang Maha Pencipta dan tidak mampu mencintai-Nya dengan kecintaan yang amat sangat, maka Anda jangan sampai tidak mencintai pemberi nikmat dan yang berbuat baik kepada Anda! Anda jangan sekali-kali lebih rendah dari seekor anjing, sebab anjing itu mencintai tuannya yang selalu berbuat baik padanya!
Renungkan hal ini dalam kaitannya dengan jagat raya! Adakah seseorang yang berbuat baik kepada Anda, selain Allah?
Apakah nasib, rasa lezat, rasa senang menikmati sesuatu, dan kelahapan menikmati nikmat yang Anda miliki itu tidak lain hanyalah Allah yang menciptakannya, memulai dan menetapkannya, serta bukankah Dia yang menciptakan rasa berselera kepada nikmat-nikmat tersebut dan rasa nyaman menikmatinya?
Renungkan pula tentang organ tubuh Anda dan kehalusan ciptaan Allah Swt. atas diri Anda dengan organ-organ tersebut, agar Anda mencintai-Nya karena kebaikan-Nya kepada Anda!
Jika Anda tidak mampu mencintai Allah sebagaimana para malaikat mencintai-Nya karena kemahaindahan, kemahaagungan dan kemahasempurnaan-Nya, cukuplah Anda menjadi orang awam saja.
Uraian di atas merupakan perwujudan dari sabda Rasulullah Saw, “Cintailah Allah, karena Dia mengaruniakan nikmat kepada kalian, dan cintailah aku karena cinta kepada Allah Azza wa Jalla!”
Anda bagaikan seorang budak berparas kurang menarik dalam kondisi demikian, sebab budak yang berparas kurang menarik itu cinta dan bekerja untuk mendapatkan upah (imbalan); sudah barang tentu kadar bertambah dan berkurangnya cinta Anda bergantung pada bertambah dan berkurangnya kebaikan, dan ini merupakan ragam cinta yang amat lemah. Yang sempurna adalah, orang yang mencintai Allah karena keindahan dan kemahaterpujian sifat-sifat-Nya yang tidak mungkin dapat disamai dan tiada dua-Nya. Itulah sebabnya, Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Daud as.:
“Bentuk kecintaan kepada-Ku yang paling baik adalah, orang yang menyembah-Ku tanpa pamrih, bukan karena untuk memperoleh pemberian; tapi memenuhi hak rububiyah itu sendiri.”
Dalam kitab Zabur dijelaskan, “Termasuk orang zalim adalah, orang yang menyembah-Ku karena surga atau neraka. Kalau Aku tidak menciptakan surga dan neraka, apakah Aku tidak pantas untuk ditaati?”
Suatu saat Nabi Isa as. melintasi sekelompok ahli ibadat, mereka telah ber-khalwat untuk melakukan ibadat. “Kami takut pada api neraka dan mengharapkan surga,” kata mereka.
“Anda sekalian takut pada makhluk dan Anda sekalian berharap padanya?” komentar Nabi Isa as.
Selanjutnya beliau melewati sekelompok ahli ibadat lainnya.
“Kami menyembah-Nya sebagai rasa cinta dan pengagungan karena kemahamuliaan-Nya.”
“Anda sekalian benar-benar para kekasih Allah, aku diperintahkan mukim bersama kalian,” kata Nabi Isa as.
Cinta Orang Arif
Orang yang kenal Allah (al-arf) hanya cinta kepada Allah Swt. semata.
Apabila mencintai selain Allah, dia mencintainya demi dan karena Allah Swt. Sebab, bisa terjadi seorang pecinta itu mencintai hamba orang yang dicintainya, mencintai kerabat, negara, pakaian, anak angkat, karya dan ciptaannya, serta setiap yang berasal darinya dan dikaitkan kepadanya.
Seluruh yang ada di alam semesta ini adalah ciptaan Allah Swt. Seluruh makhluk adalah hamba Allah. Jadi, mencintai seorang Rasul identik dengan mencintai-Nya, sebab beliau adalah seorang utusan yang dicintai-Nya dan sekaligus merupakan kekasih-Nya. Lalu, mengapa harus mencintai para sahabat? Karena mereka dicintai oleh Rasulullah Saw. dan mereka pun mencintai beliau. Mereka berkhidmat dan tekun mematuhi beliau.
Cinta atau suka terhadap makanan, karena dapat menguatkan tubuh yang dapat mengantarkan kepada orang yang dicintainya. Mencintai dunia, semata karena merupakan bekal menuju Sang Kekasih.
Ketika memandangi bunga-bunga, sungai-sungai, cahaya dan keindahan-keindahan dengan penuh cinta, karena semua itu adalah ciptaan Allah Swt. Semua itu (bunga-bunga, sungai-sungai, cahaya dan keindahan) merupakan tanda-tanda keindahan dan kemuliaan-Nya, serta mengingatkan akan sifat-sifat-Nya yang terpuji yang memang dicintai dan disayangi.
Jika mencintai orang yang berbuat baik kepada dirinya dan mencintai orang yang mengajarinya ilmu-ilmu agama, semata karena dia itu merupakan perantara antara dirinya dan yang dicintainya (Allah), yakni dalam menyampaikan ilmu dan hikmah-Nya kepada dirinya. Dia tahu bahwa Allah-lah yang menakdirkan sang guru mengajari dan membimbingnya, menyuruhnya untuk menginfakkan sebagian hartanya. Kalau tidak karena faktor-faktor yang mendorong sang guru untuk mengajari dan membimbingnya serta menyuruhnya untuk berinfak, tentu dia tidak melakukannya.
Orang yang paling banyak dan terbesar dalam berbuat baik terhadap diri kita adalah Rasulullah Saw. Milik Allah-lah segala keistimewaan, keutamaan dan anugerah dengan menciptakan dan mengutus beliau; sebagaimana difirmankan-Nya:
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah.” (Q.s. Al-Jumu’ah: 6).
Karena itu pula Allah swt. berfirman:
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (Q.s. Al-Qashash: 56).
Coba Anda renungkan Surat Al-Fath dan firman Allah Swt. berikut ini:
“Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat.” (Q.s. An-Nashr: 2-3).
“Jika kalian menyaksikan banyak hamba Allah yang masuk ke dalam agama-Nya,“ sabda Rasul Saw, “maka ucapkanlah puja-puji kepada Allah, bukan memuji-mujiku!”. Itu adalah pengertian tasbih dengan memuji Tuhannya. Jika perhatian kalbu Anda terarah kepada diri dan usaha Anda, segeralah Anda meminta ampunan kepada-Nya agar Dia memberi ampunan dan tobat. Hendaklah Anda tahu, bahwa tidak ada sedikit pun campur tangan Anda dalam semua urusan.
Bertitik tolak dari hal inilah Umar bin Khaththab r.a. ketika melihat surat Khalid bin Walid kepada Abu Bakar r.a. setelah penaklukan kota Mekkah, (yang diantaranya berbunyi), “Dan Khalid, Sang Pedang Allah yang terhunus kepada orang-orang musyrik, kepada Abu Bakar, Amirul Mukminin.” Maka Umar r.a. berkata, “Karena pertolongan Allah kepada kaum Muslim, Khalid memandang dirinya dan menyebutnya dengan Si Pedang Allah yang terhunus kepada kaum musyrik.”
Andaikata dia mencermati kebenaran sebagaimana mestinya, niscaya dia tahu bahwa kemenangan itu bukan karena pedangnya. Namun Allah memiliki rahasia tersendiri dengan kemauan (iradat)Nya dengan memenangkan Islam.
Karena itu, Allah menolong Islam dengan satu getaran, yaitu getaran rasa takut yang diselinapkan ke dalam hati orang kafir sehingga dia terpukul mundur, sementara yang lain pun melihatnya, sehingga mereka mundur dan kekalahan pun tersebar luas. Khalid bin Walid dan yang semisal, melihat kemenangan Islam karena keberanian dan ketajaman pedangnya.
Sedang Umar r.a. dan orang-orang yang jujur dengan kebenaran (as-shiddiqin) serta para auliya’ mencermati hakikat persoalan yang sebenarnya. Beliau juga tahu bahwa Khalid bin Walid perlu mengucapkan istighfar dan bertasbih dengan memuji Tuhannya jika menyaksikan hal yang demikian itu, sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah Saw.
Jadi, motivasi cinta (mahabbah) itu hanya dua: Pertama, ihsan. Kedua, puncak kemuliaan dan keindahan Allah yang berwujud kesempurnaan kemahamurahan, hikmah, ketinggian, kemahakuasaan dan kemahasucian Allah dari segala bentuk cacat dan kekurangan.
Tiada satu pun bentuk kebaikan dan perlakuan baik, kecuali bersumber dari-Nya. Tidak ada kemuliaan, keindahan dan kesucian kecuali milik-Nya. Seluruh kebaikan dan perilaku baik di alam semesta ini hanyalah satu di antara bentuk kemahamurahan-Nya, yang diarahkan kepada hamba-hamba-Nya dengan satu getaran, yang Dia ciptakan dalam kalbu seorang muhsin.
Seluruh keindahan, gambar yang bagus, bentuk-bentuk yang elok dan indah yang diindera oleh mata, pendengaran dan penciuman di alam jagat ini tidak lain merupakan salah satu pengaruh dari kekuasaan-Nya, itu merupakan sebagian dari nilai-nilai keindahan Diri-Nya.
Page 4 of 4
Betapa indahnya semua itu bagi orang yang menyaksikannya dalam alam
musyahadah, dan bukti-bukti yang pasti lagi memuaskan, bagaimana mungkin
terbayang dia akan berpaling kepada selain Allah Swt, atau mencintai
selain Allah Swt.?Rasa lezat yang dialami oleh seorang yang ma’rifat kepada Allah di dunia, dengan menelaah dan menyaksikan langsung keindahan hadirat ketuhanan (al-hadharat ar-rububiyah), jauh lebih lezat dari segala bentuk kelezatan lainnya yang terdapat di dunia. Karena kelezatan itu sesuai dengan kadar selera (keinginan) dan kekuatan selera itu sesuai atau sepadan dengan yang diingini.
Sebagaimana makanan itu merupakan hal yang paling sesuai bagi tubuh, maka sesuatu yang paling sesuai bagi kalbu adalah ma’rifat. Sebab, ma’rifat merupakan santapan kalbu. Sedangkan yang paling memenuhi selera kalbu adalah ruh Rabbani, seperti yang difirmankan oleh Allah Swt, “Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku’.” (Q.s. Al-Isra’: 85).
Dan Allah Swt. berfirman, “Dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku.” (Q.s. Al-Hijr: 29, Shad: 72).
Dalam ayat ini Allah menisbatkan ruh kepada Diri-Nya. Ruh semacam itu tidak dimiliki oleh binatang dan manusia yang penihalnya seperti binatang. Itu hanya khusus bagi para Nabi dan wali. Karena itulah, Allah Swt. berfirman:
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.” (Q.s. Asy-Syura: 52).
Jadi, hal yang paling sesuai bagi ruh semacam ini adalah ma’rifat.Karena yang paling relevan bagi segala hal adalah karakteristiknya.
Karena itu, suara yang merdu tidak sepadan dengan penglihatan (mata), sebab bukan karakternya.
Karakter ruh manusia (ruhul insani) adalah ma’rifat tentang hakikat. Setiap apa pun yang diketahui hakikatnya itu lebih mulia, mengetahui hakikat, tentu lebih lezat rasanya. Dan tidak ada yang lebih mulia daripada mengenal (hakikat) Allah dan (kerajaan) alam semesta-Nya.
Mengenal Allah, mengenal sifat-sifat dan Dzat-Nya, keajaiban-keajaiban kerajaan jagat raya-Nya merupakan sesuatu terlezat bagi kalbu, karena kesenangan tersebut merupakan kesenangan paling lezat. Karena itu, diciptakan paling ujung setelah kesenangan lainnya.
Setiap kesenangan yang diciptakan kemudian, Iebih lezat rasanya daripada kesenangan yang diciptakan sebelumnya.
Kesenangan yang diciptakan pertama kali adalah selera nafsu makan, kemudian, karenanya, diciptakan nafsu seks. Maka nafsu makan ditinggalkan dan dianggap remeh, untuk memenuhi kepentingan nafsu seks. Selanjutnya diciptakan nafsu dan keinginan untuk berkuasa, untuk mendapatkan kehormatan atau jabatan, yang karenanya meremehkan nafsu seks dan nafsu makan. Lalu diciptakan keinginan atau nafsu ma’rifat (syahwatul ma’rfat) yang dapat mengatasi atau menguasai segala yang ada (alam semesta), sehingga meremehkan keinginan untuk dapat berkuasa dan mendapatkan kehormatan atau jabatan. Ini merupakan akhir yang sekaligus keinginan duniawi paling kuat.
Anak kecil tidak mengakui adanya nafsu seks. Dia terheran-heran terhadap orang yang membebani dirinya dengan beban harus memenuhi biaya pernikahan demi nafsu seks tersebut.
Jika telah mencapai nafsu seks, seseorang terus menekuninya tanpa lagi mengingat kehormatan, kedudukan dan kekuasaan; dan dia tidak ambil pusing terhadap kekuatannya dalam memenuhi nafsu seks. Demikian pula dengan orang yang kecanduan nafsu untuk memperoleh kehormatan dan kekuasaan, dia mengabaikan kelezatan ma’rifat, karena belum diciptakannya kesenangan setelah kesenangan berkuasa tersebut.
Nafsu dan ambisi untuk memperoleh kehormatan dapat berakhir pada sakitnya kalbu, hingga tidak dapat menerima keinginan ma’rifat terhadap Allah Swt, sebagaimana rasa tubuh orang yang sakit, merusak selera makannya hingga ia menemui ajalnya. Kadang-kadang nalurinya berbalik, sehingga ia menginginkan makan tanah dan sesuatu yang berbahaya lainnya. ini adalah awal kematian.
Demikian halnya dengan penyakit kalbu, bisa saja berakhir pada batas-batas tertentu yang bisa mengabaikan, membenci dan tidak mengakui ma’rifat; serta tidak mcngakui orang-orang yang tekun menuju ma’rifat. Sehingga yang diketahui dan dirasakannya sekadar kelezatan kekuasaan, makanan dan seksual. Dialah mayat yang tidak mau diobati. Tentang orang yang semacam mi disebut dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka, (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan (Kami letakkan pula) sumbatan di telinga mereka; dan kendatipun kamu menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk selama-lamanya.” (Q.s. Al-Kahfi: 57).
Tentang mereka juga dinyatakan:
“(Berhala-berhala itu) benda mati tidak hidup, dan berhala-berhala itu tidak mengetahui bilakah penyembah-penyembahnya akan dibangkitkan.” (Q.s.An-Nahl: 21).
Kelezatan Ma’rifat Wajah Allah Swt.
Sungguhpun rasa ma’rifat ini sangat lezat, tapi tidak bisa dibandingkan dengan kelezatan memandang wajah Allah Yang Maha Mulia nanti di akhirat. Hal itu tidak akan terbayangkan di dunia, karena suatu rahasia yang tidak mungkin tersingkap saat sekarang.
Tidak seyogyanya kata “memandang” di sini Anda pahami seperti orang awam dan para teolog (mutakallimun) memahaminya, yang butuh arah pasti untuk menentukan tolok ukur dan batasannya. Tentunya ini dari sudut pandang orang yang menekuni alam nyata, yang tidak melampaui benda-benda yang dapat diindera, yang merupakan sasaran indera kebinatangan.
Anda harus memahami, bahwa hadirat ketuhanan (al-hadharat arrububiyah), bentuk dan susunannya yang ajaib — berupa keindahan, keelokan, kebesaran, kemuliaan, keagungan dan keluhuran, yang merindu dalam kalbu seorang ahli ma’rifat, sebagaimana watak bentuk rupa alam inderawi, dalam indera Anda; walaupun Anda menutup mata, tapi Anda seakan-akan melihatnya. Jika membuka mata, Anda mendapatkan bentuk sesuatu yang diindera sama seperti bentuk rupa yang difantasikan sebelum dibukanya mata, tidak berbeda sama sekali. Hanya saja — dibandingkan dalam bentuk fantasi — bentuk rupa itu diindera dalam wujud yang sangat jelas.
Demikian pula seharusnya Anda tahu, bahwa mengindera sesuatu yang tidak masuk atau bukan obyek fantasi dan indera, ada dalam dua tingkatan kejelasan yang berbeda. Perumpamaan pertama dengan yang kedua identik dengan perumpamaan penglihatan pada fantasi. Yang kedua merupakan puncak tersingkapnya tirai (kasyf) , yang disebut penyaksian langsung (musyahadah) dan penglihatan langsung (ru’yah). Hanya saja ru‘yah itu tidak disebut ru‘yah karena ada pada mata, sebab bila diciptakan di atas dahi baru disebut ru’yah, akan tetapi itu merupakan puncak kasyf Sebagaimana terpejamnya pelupuk mata merupakan tirai bagi penglihatan mata. Maka kekeruhan nafsu merupakan tirai bagi puncak musyahadah. Karena itulah, Allah berfirman:
“Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku.” (Q.s. Al-A’raaf: 143).
Dan firman-Nya, “Dia tidak dapat dicapai dengan penglihatan mata.” (Q.s. Al-An’am: 103).
Jika tirai (hijab) ini telah tersingkap nanti setelah mati, maka ma’rifat itu pasti berbalik menjadi musyahadah dengan sendirinya. Kadar musyahadah masing-masing orang bergantung pada kadar ma’rifatnya; karenanya, rasa lezat yang dialami para wali Allah Swt. itu lebih dibandingkan rasa lezat yang dirasakan atau dialami oleh yang lain. Allah Swt. tajalli dan tampak bagi Abu Bakar r.a. secara khusus dan tampak secara umum bagi manusia.
Demikian pula, yang melihat-Nya hanyalah orang-orang arif, sebab ma’rifat merupakan awal dari penglihatan, bahkan ma’rifat itulah yang dapat berubah menjadi musyahadah, seperti berubahnya fantasi menjadi penglihatan mata. Karena itu, Dia tidak butuh lawan banding. Rahasia tentang hal ini sangat panjang, silakan Anda merujuk dan membacanya pada Bab “Al-Mahabbah” dalam kitab Al-Ihya’.
Tentu saja jika penglihatan mata Anda kepada yang Anda senangi, dan bila Anda memandangnya dari sebuah tirai tipis pada saat awan kemerah-merahan, dan pada saat kalajengking dan lalat besar
menyibukkan dan menyengat dari balik pakaian Anda, maka penglihatan Anda jadi lemah.
Apabila secara tiba-tiba matahari terbit sekaligus, sehingga tirai tipis itu sirna, kemudian lalat dan kalajengking itu menyingkir, lalu bara cinta yang amat sangat itu menghunjam Anda, tentu rasa lezat yang amat sangat yang telah digapai saat ini tidak bisa dibandingkan dengan yang sebelumnya. Demikianlah, tidak ada yang bisa menyamai kelezatan pandangan mata, kecuali kelezatan ma’rifat, bahkan ma’rifat itu jauh lebih lezat dan pandangan mata. Tirai tipis itu adalah hati luar Anda, sedangkan kalajengking itu adalah kesibukan, kesedihan dan kecenderungan pada kehidupan dunia. Bara cinta yang amat sangat itu adalah rasa yang disebabkan oleh sirnanya kendala dan hal-hal yang menghambat dan menyulitkan. Pancaran matahari adalah kesiapan mata kalbu untuk menerima beban tajalli, yakni ketampakan yang sempurna. Dalam hidup ini, tidak mungkin mata kelelawar dapat menahan sinar matahari.
Bahwa kesenangan ma’rifatullah itu menjadi lemah karena berdesak-desakannya ragam keinginan. Sebenarnya ma’rifatullah itu tersembunyi, semata karena kilauan penampakan ma’rifat.
Suatu contoh adalah demikian, Anda tahu bahwa sesuatu yang paling jelas adalah benda-benda yang dapat diindera, diantaranya adalah yang dapat dilihat dengan penglihatan mata, juga cahaya yang menjadikan sesuatu jelas atau terang kepada Anda. Selanjutnya, jika matahari itu terbit terus-menerus tanpa terbenam dan tidak memiliki bayang-bayang, niscaya Anda tidak akan tahu wujud cahaya. Anda melihat warna-warna, maka yang Anda lihat hanyalah warna merah, hitam dan putih.
Jadi, cahaya dapat diketahui — dapat ditangkap oleh mata — bila matahari itu terbenam, atau terdapat tirai yang menghalanginya, sehingga tampaklah ada bayang-bayang, dan Anda akan tahu — dengan beraneka ragam situasinya karena gelap dan terang — bahwa cahaya itu suatu hal yang bila ditampakkan pada aneka warna, ia menjadi terlihat.
Apabila Allah itu diproyeksikan secara gaib, atau terbayang, cahaya-cahaya kekuasaan-Nya itu, ada tirai yang menghalangi segala sesuatu, tentu saja Anda mengetahui adanya kesenjangan yang mendesak pada ma’rifat. Namun seluruh yang ada, ketika sama-sama menyatakan penyaksian kemahatunggalan Sang Maha Pencipta tanpa beda, maka persoalannya menjadi tersembunyi, dikarenakan pancaran sinarnya yang sangat terang-benderang itu.
Andaikata tergambar lenyapnya cahaya-cahaya kekuasaan-Nya dan langit dan bumi, tentu semua itu (langit dan bumi) akan musnah. Pada saat itulah diketahui adanya kesenjangan yang menuntut terwujudnya ma’rifat terhadap kekuasaan dan Yang Kuasa.
Berikut ini adalah contoh lain, di balik contoh mi terdapat rahasia-rahasia, di dalamnya ada kekeliruan. Silakan Anda mencermatinya dengan sungguh-sungguh, barangkali mampu memahami rahasia-rahasianya. Anda jangan merasa kacau dan bingung pada posisi yang keliru, pada kekeliruan yang Anda dapatkan. Diantaranya adalah kekeliruan orang yang berkata, “Dia ada di setiap tempat. Namun setiap orang yang mencari-Nya ke suatu tempat atau ke sebuah arah, justru akan tersesat dan hina.” Puncak penglihatannya kembali pada tindakan-tindakan binatang yang dapat diindera, hanya saja tidak dapat melanipaui kondisi tubuh dan hal-hal yang terkait dengannya.
Derajat iman pertama adalah, kemampuan untuk melampauinya, di Situ manusia menjadi manusia, terlebih lagi apabila menjadi manusia Mukmin.
Cinta itu memiliki banyak indikasi, cukup panjang untuk mengalkulasikannya. Diantaranya adalah, mendahulukan perintah Allah daripada hawa nafsu, terwujudnya sikap takwa dengan wara’, menjaga aturan-aturan syariat.
Indikasi-indikasi lainnya adalah, rasa rindu untuk bertemu Allah, lepas dari rasa takut mati, kecuali dari segi memperlihatkan rasa rindu pada bertambahnya ma’rifat. Sebab, lezatnya rasa musyahadah bergantung pada kadar kesempurnaan ma’rifat, dimana ma’rifat merupakan permulaan atau awal dan musyahadah. Jadi, kadar musyahadah itu berbeda-beda bagi masing-masing orang sesuai dengan perbedaan kadar ma’rifatnya.
Indikasi lainnya adalah, ridha terhadap ketetapan Allah, dengan posisi yang telah ditentukan oleh Allah Swt. Agar tidak terpedaya oleh bisikan yang mengganggu yang terlintas dalam dirinya, hingga ia mengira bahwa kesibukan itu merupakan esensi cinta kepada Allah Swt. Makna ridha merupakan makna yang sangat mulia.
No comments :
Post a Comment