Kemiskinan ada dimana-mana. Lalu kenapa pemerintah tidak mencetak
uang sebanyak-banyaknya lalu dibagikan kepada orang miskin? Rasanya
masalah selesai seperti yang di kutip dari http://www.linkbucks.com/BUycJ
Dalam menerbitkan atau mencetak uang, terdapat dua macam sistem, yang
disebut “pseudo gold” dan “uang fiat”. Dalam sistem pseudo gold, uang
yang dicetak dan beredar didukung dengan cadangan emas atau perak yang
dimiliki badan yang menerbitkannya. Sedangkan dalam sistem uang fiat,
uang yang beredar tidak didukung aset yang riil, bahkan tidak didukung
apa-apa. Artinya, dalam sistem fiat, pemerintah atau badan yang
menerbitkan uang bisa mencetak uang sebanyak apa pun sesuai keinginan.
Dalam ekonomi, kita tahu, harga barang akan tergantung pada
perbandingan jumlah uang dan jumlah persediaan barang. Jika barang lebih
banyak dari jumlah uang yang beredar, maka harga akan cenderung turun.
Sebaliknya, jika jumlah barang lebih sedikit dibanding jumlah uang yang
beredar, maka harga-harga akan cenderung naik. Karena itulah, pencetakan
uang secara tak langsung juga ditentukan oleh hal tersebut, agar tidak
terjadi inflasi.
Apabila suatu negara—dengan alasan miskin—mencetak uang
sebanyak-banyaknya, yang terjadi bukan negara itu menjadi kaya, tetapi
justru akan semakin miskin. Karena, ketika jumlah uang yang beredar
semakin banyak, harga-harga barang akan melambung tinggi, dan inflasi
terjadi. Akibatnya, meski uang dicetak terus-menerus, uang itu tidak
bisa disebut kekayaan, karena nilainya terus merosot turun.
Indonesia pernah melakukan pencetakan uang dalam jumlah banyak, pada
masa pemerintahan Presiden Soekarno. Karena pemerintah belum bisa
maksimal memungut pajak dari rakyat waktu itu, Soekarno pun mengambil
kebijakan untuk mencetak uang secara berlebih. Hasilnya tentu inflasi.
Semakin banyak uang dicetak, harga barang semakin tinggi, dan terjadi
hiperinflasi. Sampai akhirnya mahasiswa berdemonstrasi yang terkenal
dengan sebutan Tritura (tiga tuntutan rakyat), yang salah satunya
permintaan agar harga-harga diturunkan.
Kasus yang terbaru terjadi di Zimbabwe. Pada 2008, pemerintah
Zimbabwe mengeluarkan kebijakan untuk mencetak uang dalam jumlah sangat
banyak, yang ditujukan untuk memperbanyak pegawai negeri yang diharapkan
akan mendukung pemerintah. Hasilnya adalah inflasi yang gila-gilaan.
Negara itu bahkan memegang rekor dalam hal inflasi tertinggi di dunia,
yaitu 2.200.000% (2,2 juta persen) pada 2008.
Sebegitu cepatnya tingkat inflasi terjadi, hingga kenaikan harga di
Zimbabwe tidak terjadi dalam hitungan minggu atau bulan, tetapi menit
bahkan detik. Dalam setiap beberapa detik, para pegawai di toko-toko
Zimbabwe terus sibuk mengganti label-label harga pada barang-barang yang
mereka jual, karena terus terjadi pergantian harga akibat inflasi yang
menggila.
Pada 20 Juli 2008, Bank Sentral Zimbabwe bahkan menerbitkan pecahan
uang senilai 100 milyar dollar, yang merupakan rekor pecahan uang dengan
nominal terbesar di dunia. Uang dengan nominal besar itu, ironisnya,
tidak memiliki nilai yang sama besarnya, karena digerus oleh inflasi
akibat harga-harga yang melambung luar biasa tinggi. Untuk membeli
sembako, misalnya, orang di Zimbabwe harus membawa uang sampai seember.
Jadi, negara miskin (ataupun negara yang tidak miskin) tidak mencetak
uang dalam jumlah berlebihan, karena adanya pertimbangan seperti yang
digambarkan di atas.
Lalu Kenapa Suatu Negara Tidak Mencetak Uang Sebanyak-Banyaknya?Kalau
membaca berita tentang hutang negara yang menumpuk serta angka
kemiskinan yang sangat besar, mungkin terpikir oleh kita “bagaimana
kalau Indonesia mencetak uang semaunya, untuk melunasi hutang negara
maupun memberantas kemiskinan ataupun mengembalikan uang korupsi yang
hilang”. Beres kan?
Nah, seandainya pemerinta Republik Indonesia mencetak uang sebanyak
banyaknya, semua rakyat dapat hujan uang. Timbul pertanyaan, siapa yang
mau capek kerja sedangkan sudah ada jaminan uang untuk hari ini dan
besok. Nah, kalau gitu siapa yang mau kerja jadi petani padahal uang
sudah ada di tangan?
Misalkan, rakyat Indonesia tidak ada yang mau jadi petani. Lalu kita
mau maka apa sedangkan makanan pokok berasal dari sektor pertanian?
Akibatnya akan terjadi inflasi, yaitu kenaikan harga barang barang di
pasaran.
Rasio antara uang yang dicetak dan jumlah uang yang beredar adalah
salah satu cara menentukan nilai suatu uang. Makanya, bila uang yang
beredar ditambah tapi jaminannya tidak ditambah maka nilai uang akan
turun (inflasi). Akibatnya bila biasanya Rp. 1.000 bisa membeli x
barang, setelah uang mengalami inflasi Rp.1.000 hanya bila membeli 1/2
x.
Dengan kata lain jumlah uangnya banyak tapi nilainya tidak ada, kalau
nilainya tidak ada maka negara lain tidak ada mau menerima uang kita.
ujung-ujungnya utang tidak akan pernah terbayar.
Jadi inilah alasannya kenapa pemerintah tidak bisa seenaknya mencetak
uang sebanyak banyaknya: karena uang dicetak sebanyak-banyaknya maka
para pedagang selalu akan menaikkan harga. Lagipula, pikir mereka. yang
beli uangnya lebih banyak dari sebelumnya
Efek ini terus berulang bagai lingkaran setan sehingga sebagian besar
harga barang akan mengalami kenaikan harga padahal barangnya sama
persis seperti sebelumnya. Inlah yang dilihat sebagai jatuhnya nilai
mata uang dimana nilai tukar uang terhadap barang turun (karena harga
barang naik).
Dus, karena harga barang naik, maka akan ada semakin banyak orang
miskin. Itulah yang aakan terlihat apabila inflasi tidak terkendali….
No comments :
Post a Comment