Pada suatu hari, bani Hasyim
sedang berkumpul, yang mana Rasulullah S.a.w. juga turut di dalamnya. Mereka
semua berkumpul untuk membahas permasalahan Abu Thalib karena usianya telah
lanjut. Sementara itu, anak-anak yang ditinggalkannya berjumlah banyak,
sedangkan dirinya tidak memiliki harta yang cukup untuk mencukupi kehidupan
keluarganya.
Sumber Gambar |
Pembicaraan dalam pertemuan ini berlangsung dalam nuansa
mengharukan yang amat sangat. Namun pada akhirnya bani Hasyim memperoleh kata
sepakat untuk membantu menanggung beban Abu Thalib hingga ia dapat menjalani
sisa-sisa harinya dengan tenang.
Al-Abbas bin Abdil
Muththalib mengambil anak Abu Thalib yang tengah, yaitu Thalib, untuk diasuh
dan dicukupi kebutuhan hidupnya. Sedang Hamzah bin Abdil Muththalib mengambil
Ja’far bin Abi Thalib untuk diasuhnya, dan Uqail bin Abi Thalib sajalah yang
masih tetap berada dalam asuhan ayahnya.
Adapun Muhammad S.a.w. mendapatkan bagian untuk mengasuh putera
bungsu Abu Thalib yang juga sebagai anak terbaiknya, yaitu Ali bin Abi Thalib.
Kemudian Rasulullah S.a.w. kembali menuju rumahnya bersama Ali, dan sejak saat
itu, Ali berada dalam asuhan dan pendidikan langsung dari Rasulullah S.a.w..
Sebelum risalah Islam turun, karena Ali berada dalam asuhan Nabi
S.a.w. sejak masih kecil, maka ia belum pernah bersujud kepada berhala
sebagaimana ia tidak suka bermain-main layaknya anak-anak seusianya pada waktu
itu. Kehidupan Ali lebih banyak diwarnai pada melihat, mengamati dan
memperhatikan anak pamannya sendiri, yaitu Nabi S.a.w., yang sekarang mengasuh
dirinya sebagai insan terbaik dan paling mulia.
Berangkat dari itu,
maka Ali merupakan potret kedua Nabi S.a.w. akibat ia belajar langsung dari
beliau tentang akhlak terpuji dan segala aktifitas yang mulia.
Di tengah kegelapan Makkah dari ruh tauhid pada waktu itu,
terpancarlah sinar kenabian dengan turunnya malaikat Jibril A.s. di Gua Hira`
membawa risalah Islam. Pada saat itu, malaikat Jibril turun untuk menyampaikan
wahyu pertama dari ayat Al-Qur`an, yaitu “Bacalah.” Dengan turunnya ayat
ini, maka Muhammad kini menjadi seorang utusan Allah untuk semua manusia.
Setelah beliau menerima wahyu pertama ini, beliau kemudian kembali ke rumahnya
untuk mengajak isterinya Khadijah R.a. agar beriman terhadap ajaran yang
dibawanya. Langkah Khadijah ini kemudian diikuti oleh Ali yang pada waktu
usianya baru mencapai tujuh tahun. Sungguh ini sesuatu yang sangat ‘menakjubkan’.
Bukanlah maksud ungkapan ‘menakjubkan’ di sini merujuk pada Ali
menyatakan masuk Islam, karena ia hidup dalam pendidikan dan arahan Nabi S.a.w.
semenjak masih kecil. Akan tetapi ‘menakjubkan’ di sini lebih karena proses
yang terjadi pada Ali memeluk Islam.
Pada saat itu,
ketika Rasulullah S.a.w. mengajaknya untuk memeluk Islam, maka dengan seketika itu
juga Ali langsung menerimanya. Walau demikian, Nabi S.a.w. tetap memerintahkan
Ali agar meminta izin dari ayahnya terlebih dahulu. Namun ketika Ali
mendengarkan perintah ini, maka Ali menjawab, “Apakah ayahku telah meminta izin
kepada Allah ketika Allah menciptakan diriku?”
Semenjak saat itu, dalam waktu yang relatif singkat, maka Ali
selalu mengikuti setiap gerakan dan langkah yang ditempuh oleh Rasulullah S.a.w..
Ali melakukan shalat di belakang beliau dan menangis karena beliau. Ali
mengikuti Rasulullah S.a.w. sebagaimana anak unta yang masih kecil mengikuti
induknya tanpa mau berpisah darinya.
Ketika dirinya
melihat banyak orang-orang musyrik Makkah menyakiti beliau, maka dengan lantang
Ali berkata, “Wahai Rasulullah, aku akan membelamu dari penganiayaan mereka.”
Rasulullah S.a.w. melihat bahwa Ali adalah seorang hamba beriman
yang usianya masih kecil, namun kadar hati dan akalnya sudah dewasa hingga
berhak untuk mendapatkan prediket ‘Pemuda Beriman’. Ali telah melihat bahwa
Rasulullah S.a.w. merupakan suri teladan yang baik, contoh yang harus diikuti
dan sebagai manusia berilmu serta beretika. Atas dasar ini, maka Ali banyak
memperoleh banyak manfaat dari beliau.
Sumber:http://www.ceritahikmah.web.id/
No comments :
Post a Comment